Selasa, 29 Maret 2011

Gunda Gulana Pacar Aktivis

O Mama lihatlah.  Pacarku yang kini seorang aktivis.  
O Mama lihatlah.  Memar bekas rotan mister Garnisun.    
Sekarang dia membawa selebaran gelap.  
Pacaran tidak romantis ngomongin politik.    
Oh mama lihatlah.  Dia lebih peduli ibu pertiwi.  
Oh mama maafkan,  aku cemburu pada ibu pertiwi.   
Sekarang dia membawa selebaran gelap. 
Pacaran tidak romantis ngomongin politik.

Senin, 28 Maret 2011

PERKEMBANGAN SASTRA DI INDONESIA

Dijajah Jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah Indonesia pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. Bahasa Indonesia tadinya dihindari Belanda agar jangan resmi menjadi bahasa persatuan, oleh orang Jepang bahasa Indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan di seluruh kepulauan.
Dengan makin intensifnya penggunaan bahasa Indonesia di kepulauan Nusantara, sastra Indonesia pun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindomerupakan kantor pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan perkumpulan sandiwara dibawah P.O.S.D (Perserikatan Oesha Sandiwara Djawa ) .

Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak, cerpen, dan sandiwara. Sedangkan roman kurang diterbitkan hanya dua Cinta Tanah Air, karangan Nur Sultan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Keduanya roman propaganda yang bernilai sastra.
Pada masa inilah bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi Indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa sajak Khairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan.
Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkan kepada pembaca. Juga segala superlativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.
Selanjutnya, coba Anda cari tahu, siapa-siapa penyair dan pengarang yang karyanya terbit pada masa itu? Informasi lengkap tentang perkembangan sastra Indonesia pada periode 1942-1945 tersedia di www.geocities.com/daudp65.
Tahun 30-an
Pada tahun ini fiksi populer kembali menghangat, dengan banyaknya terbitan “roman Medan” yang R. Roolvink menyebutnya “roman pictjisan”. Sebenarnya mengapa di sebut picisan? Karena di jualnya juga se picis (sepuluh Sen).

Tahun 50-an
Yang sangat menonjol pada saat itu yaitu karya Motinggo Busye. Dan cerita-cerita silat. Karya-karya yang diterbitkanpun, kebanyakan karya-karya tahun 30-an yang belum sempat diterbitkan saat itu. Karya-karya pada saat itu penuh dengan propaganda, untuk mengganggu status kuo Jepang pada saat itu. Karya tahun 50-an hingga 70-an yang lebih mendominasi adalah cerita sex.


Tahun 70-an
Pada tahun 70-an, pertumbuhan penulis perempuan begitu pesat dan mendominasi karya-karya yang terbit. Mengapa perempuan yang mendominasi? karena Ketika industri mulai hidup, kaum wanita mulai bangkit (emansipasi). Hal ini dipengaruhi oleh budaya barat yang masuk ke Indonesia. Didukung juga oleh penerbit-penerbit yang berlabel wanita. Seperti majalah Femina (mulai terbit pada tanggal 18 September 1972) dan majalah kartini, yang didirikan oleh Lukman Umar. Majalah Kartini pertamakali diterbitkan pada tahun 1973 dan sangat populer di Indonesia.

Tahun 90-an
Pada tahun ini sastra populer sangat bergairah, tetapi yang lebih menonjol adalah sastra remajanya. Majalah-majalah remaja begitu di gandrungi. di tahun 90-an ini juga cerita Lupus semakin populer. Tapi perlu diketahui juga sastra serius mulai bangkit, ini terlihat dengan beralihnya sastra koran pada sastra serius, sehingga sastra populer dan serius mulai berbaur.